Ketika Semar dan Togog Debat Soal “ Kemaruk “

oleh -813 Dilihat
oleh
Foto : dok

” SEMUA saja mestinya harus meninggalkan sikap kemaruk alias tamak atau rakus. Makan dan minum pun dilarang berlebihan. Sikap syukur dan qana’ah juga penting. Jangan karena azas manfaat harta dan kuasa, kemudian menjadi rakus atau tamak. Karena kemaruk maka segala cara dilakukan, lalu jiwa syukur dan qana’ah pun hilang. “

SEBAGAI bapak, Semar belakangan ini dipusingkan dengan ulah anak-anaknya. Gareng, Petruk dan Bagong tiba-tiba berubah dari sifat pakemnya. Sebenarnya tidak hanya Semar yang geram, melainkan publik juga teramat geram dengan kelakuan anak-anak Semar yang belakangan ini terjun di bidang politik dan menjadi wakil rakyat. Terutama sikap Bagong akhir-akhir ini yang tidak lagi menggambarkan sebagai seorang tokoh yang ngemong,  jujur, serta sabar.

Perilaku asli Bagong masih memang,  yakni selalu berbicara blak-blakan walau terkesan tidak mengenal sopan-santun, dan ngemong tentunya.  Termasuk tidak lagi memiliki kesabaran yang ampuh. Bahkan cenderung kemaruk – dan ini yang menjadi sorotan publik di jagad pewayangan.

Kabar “buruk” itu pun didengar oleh Togog, keruan saja karena ingin njlomprongke Semar dan anak-anaknya, petuah yang seolah mbenerke  sesuatu yang sebetulnya tidak pener, diberikan kepada Semar.

‘’Tidak usah dibesar-besarkan, sudah lazim, di semua tataran, baik di dunia bisnis, politik, berbagai banyak profesi, semua ujung-ujungnya juga duit. Duit tidak segalanya memang, tetapi segala-galanya butuh duit. Jangan sok latah bilang kemaruk,’’ celoteh Togog yang sebenarnya bukanlah sosok sembarangan.

Sosok Togog adalah jelmaan dari dewa yang tertua dan secara kodrati memiliki banyak sekali keistimewaan dibalik gambaran fisik dan non fisiknya yang “amburadul”. ‘’Apalagi waktu dulu nyalon anak-anakmu juga habiskan biaya yang tidak sedikit,’’  sambungnya.

‘’Ya tidak begitu Kang Togog. Itu namanya kemaruk yang ujung-ujungnya nyusahke orang banyak,’’ jawab Semar.

Bagi Semar,  prinsip tetap prinsip yang harus dipegang teguh.  Apalagi kalau nyusahke orang banyak, dia pantang melakukan. Termasuk akan sekuat tenaga memberi pengertian kepada anak-anaknya untuk pantang melakukannya.  

Meski dalam hati Semar juga paham jika saat ini jaman sudah tidak karuan. Tidak hanya didunia usaha, di semua segi kehidupan, profesi, rawan dengan penyakit kemaruk.

Hanya dia juga sangat khawatir, karena sikap kemaruk membuktikan diri sebagai sifat yang sangat berbahaya. Jadi pejabat juga bisa kemaruk, apa-apa aku, lupa diri, kalau tidak dihormati marah, menunjukkan aji mumpung.

Baca Juga :  Ketika Sang Kresna Mumet Mengatur Siasat ...

‘’Saya hanya khawatir saja karena sikap kemaruk itu sangat berbahaya Kang Togog. Mosok anak-anak saya dan kawan-kawan nitip anggaran di sebuah kantor dengan nilai yang fantastis, Rp 10 Miliar. Bukannya sok suci, dari sisi nalar dan logika, apalagi dari asas kepatutan apakah umum,’’  papar Semar yang seolah tetap tidak sependapat dengan argumen Togog. ‘’Ini belum jatah anggaran yang lain-lain hlo,’’ tambahnya.

‘’Hlo ongkos politik itu mahal hlo. Wajar jika ada upaya untuk mencari penghasilan lain selain gaji. Dan lagi juga tidak ada aturan yang melarang,’’ bantah Togog.

‘’Ya itu sebenarnya hanya soal beda sudut pandang saja Gog. Karena sejatinya asas logika dan kepatutan, terlebih jangan sampai melukai hati rakyat harus dikedepankan,’’ Semar tetap pada pendiriannya.

Dikemukakan, karena dari penjelasan yang ada, untuk menghabiskan anggaran Rp 10 Miliar itu butuh waktu 500 hari lebih, sementara kalau dihitung jumlah hari dalam setahun itu hanya berkisar 360 hari. Pertanyaannya, jika duit itu dipaksakan harus habis dalam setahun, nanti jika muncul persoalan yang mempertanggungjawabkan adalah kantor yang dititipi anggaran.

Panjang lebar Semar alias Ismoyo memberi petuah kepada Togog. Dikatakan, semua saja mestinya harus meninggalkan sikap kemaruk alias tamak atau rakus. Makan dan minum pun dilarang berlebihan. Sikap syukur dan qana’ah juga penting. Jangan karena azas manfaat harta dan kuasa, kemudian menjadi rakus atau tamak. Karena kemaruk maka segala cara dilakukan, lalu jiwa syukur dan qana’ah pun hilang.

Petuah Kelas Dewa

Bukan berarti setuju dan mengamini, Togog hanya diam seribu bahasa ketika mendengarkan prinsip hidup kelas dewa yang dipaparkan dari ayah Gareng, Petruk dan Bagong.

Sementara Semar pun tidak memperdulikan apakah yang dipaparkan tentang prinsip hidup olehnya akan dipraktekan oleh Togog. Dikatakan,  hidup itu harus tadah, pradah, lan ora wegah.

Tadah itu sama dengan sumeleh. Atau makna kasarnya, kita jangan kebanyakan minta atau menuntut Tuhan yang macem-macem apalagi aneh-aneh. Terserah Tuhan mau ngasih apa. Biar sesukanya Tuhan kita ini mau ditakdirkan  menjalani hidup yang model gimana.

Tugas kita cuma satu, menghaturkan terimakasih, mensyukuri apa saja pemberian dari-Nya. Nggak protes dan nggak gampang ngeluh. Karena menurut Mbah Semar, nggak ada doa lain yang patut dilayangkan kecuali ucapan, “Alhamdulillah.”

Baca Juga :  Angka Rp 49,8 Juta Yang Melegakan

Sebab apa aja yang bisa kita nikmati saat ini, itu udah lebih-lebih banget. Contohnya, kita bisa menghirup oksigen tanpa bayar, itu aja udah cukup jadi bukti bahwa nikmat Tuhan itu emang tanpa pitungan (perhitungan). Jadi, nggak ada alasan buat ngerasa kurang. Nggak ada alasan buat nggak bersyukur.

Sementara itu,  pradah itu maksudnya ikhlas atau sepi ing pamrih (jauh dari pamrih apa pun). Mengerjakan apa saja tanpa mengharap apa-apa selain hanya karena ingin “menyenangkan” Tuhan. Tanpa ada embel-embel lainnya.

Kita bekerja bukan karena ngarep jadi kaya. Tapi karena Tuhan memang memerintahkan buat kerja. Kita menolong orang kesusahan bukan semata biar diapresiasi. Tapi lebih karena yang kayak gitu itu emang udah jadi kewajiban. Dan sekian contoh lain.

Sedangkan ora wegah itu maksudnya nggak milih-milih. Punya pekerjaan apa saja dikerjakan dengan sepenuh hati. Nggak setengah-setengah dan nggak ngeliat gede/kecilnya besaran upah yang dikasih.

Upah gede ya dikerjakan dengan tekun dan maksimal. Upah kecil pun dikerjakan dengan semangat dan totalitas. Pokoknya nggak beda-bedain etos kerja antara upah kecil dan upah besar, pekerjaan ecek-ecek atau pekerjaan bergengsi. Karena yang paling penting adalah komitmen dan tanggungjawab.

‘’ Emang nggak gampang.  Tapi kalau ingin hidup tentram, los dol, dan nggak terbebani macem-macem, coba saja nasehat luhur dari saya ini yang merupakan khazanah kebudayaan Jawa itu diamalkan,’’ pungkas Semar.  * Oleh : Daryanto – dari berbagai sumber )

Tinggalkan Balasan

No More Posts Available.

No more pages to load.