Ketika Mereka “Protes” Dikategorikan Desa Miskin (1)

oleh -608 Dilihat
oleh
GAYENG : Diskusi gayeng dengan Kades Doplang, Kecamatan Jati, Blora, Agus Supriyono, dan tokoh muda, dalam rangka memotret kondisi desa setempat yang dikategorikan desa miskin.
  • Mengulik Desa Miskin di Blora Selatan 

” SEORANG tokoh pemuda Doplang, Grex, dengan lantang menyuarakan, dasar atau kriterianya apa sehingga desanya masuk kategori miskin. Dia menyatakan, kabar yang diterima, data yang digunakan oleh pemerintah pusat tahun 2011, sehingga Desa Doplang masuk kategori miskin. ‘’Saya sepakat jika dilakukan validasi data,’’ tandasnya. ”

SETALI tiga uang. Ternyata apa yang saya pikiran ketika akan sonjo ke Desa Doplang, Kecamatan Jati, salah satu dari 48 desa di Blora yang masuk zona merah kemiskinan, yakni tidak percaya jika Doplang masuk kategori desa miskin, ternyata sama dengan apa yang dirasakan oleh Kepala Desa setempat, Agus Supriyono.

Ketika beranjak ke Doplang, sebuah desa di Kecamatan Jati,  sekaligus merupakan ibu kota Kecamatan Jati, dengan menempuh  jarak sekira 41 Kilometer berkendara dari pusat pemerintahan Kabupaten Blora ke arah selatan melalui Kecamatan Randublatung, saya tidak yakin jika desa ini masuk zona merah.

Sempat berdiskusi dengan Camat Jati, Drs. Muhari, sebelum survey ke Doplang, kabar bahwa unsur pemerintahan desa setempat menolak atau protes jika dikategorikan desa miskin, sudah menyeruak. Karena memang tingkat perekonomian warga yang boleh dikata makmur, dan penataan terus dilakukan.

‘’Hanya sebagai langkah awal kami “perintahkan” kepada unsur pemerintahan setempat untuk melakukan validasi data. Saran saya, jika hasil validasi data nanti memang layak masuk desa miskin, segera ditangani, dicarikan solusi sehingga Doplang bisa terentaskan dari kategori desa miskin,’’ papar Camat Muhari.

Seorang tokoh pemuda Doplang, Grex, dengan lantang menyuarakan, dasar atau kriterianya apa sehingga desanya masuk kategori miskin. Dia menyatakan, kabar yang diterima, data yang digunakan oleh pemerintah pusat tahun 2011, sehingga Desa Doplang masuk kategori miskin. ‘’Saya sepakat jika dilakukan validasi data,’’ tandasnya.

Menurutnya, jika ada yang menyebut bahwa sebuah desa dimana sejumlah warga penghuni, lantai rumahnya dari tanah, akan menjadi tolok ukur sebagai desa miskin, dirinya menolak kriteria itu.

‘’Di desa kami, biasa ada beberapa warga yang lantai rumahnya masih dari tanah, tetapi mempunyai rojo koyo, sapi yang jumlahnya 5 atau 10 ekor lebih. Sawah atau tanah pertaniannya juga luas,’’ tandas Grex.

Tidak Terima

Diskusi semakin gayeng, ketika bertemu dengan Kades Doplang, Agus Supriyono, dimana dia juga protes jika desa yang ia pimpin dikategorikan sebagai desa miskin. Termasuk dia sepakat jika perlu segera dilakukan validasi data, ‘’ini validasi data sedang kami lakukan, dan tidak lama lagi akan kelar,’’ ujarnya.

Dikatakan, jumlah penduduk di desanya yang terdiri dari 8 dusun mencapai 7.922, jiwa. Disamping sebagian besar sebagai petani, sebagian lagi ada PNS dan wiraswasta, mestinya secara umum boleh dibilang hidup jauh dari kategori miskin.

Baca Juga :  1.276 Warga Blora Kota Terima JPS Pemkab Blora

Untuk itu, Kades Agus melibatkan semua Kepala Dusun, 11 RW dan 53 RT yang ada untuk melakukan validasi data. Harapannya, data riil kondisi warganya yang terbaru segera muncul, sehingga desanya tidak lagi masuk kategori miskin.

Beranjak dari pola pikir bahwa salah satu kriteria bahwa jika di sebuah desa masih ditemukan sejumlah warga yang lantai rumahnya masih  dari tanah, termasuk masih ditemukan ada sejumlah warga yang belum mempunyai jamban, tampaknya hal ini yang tidak bisa dipungkiri.

Hanya,  kiranya kriteria tersebut, sejumlah warga lantai rumahnya masih dari tanah, termasuk ada sejumlah warga yang masih belum mempunyai jamban, desa bersangkutan dikategorikan desa miskin, belum disepakati. Atau paling tidak disepakati bersama.

Kades Agus tidak menampik, jika ada warganya, seperti yang tinggal di Dukuh Trembes, lantai rumah masih dari tanah. Termasuk beberapa juga belum berjamban. Namun demikian sebenarnya warga dimaksud memiliki banyak ternak sapi, sehingga secara ekonomi juga mampu.

‘’Saya sudah memulai untuk membuat proyek jamban di Dukuh Trembes. Ini sebagai upaya untuk merubah pola hidup mereka, yakni selama ini ada yang karena tinggal di tepian hutan, sehingga mempunyai kebiasaan untuk buang hajat di hutan,’’ jelas Kepala Desa  Agus.

Ditambahkan, terkait program dari Pemerintah Kabupaten Blora, yakni ngopeni kadang kekurangan, wujudnya program 1 OPD satu desa dampingan, sudah tersosialisasi. Hanya masih sebatas sosialisasi, karena memang disepakati sebagai langkah awal untuk melakukan validasi data.

Diketahui,  Kabupaten Blora masih belum terbebas dari status desa miskin. Angka kemiskinan di Kabupaten Blora masih tinggi,  yakni menempati posisi ke-23 dari 35 Kabupaten/kota di Jawa Tengah. Baru ada 1 desa di Kabupaten Blora yang berstatus Desa Mandiri.

Data terakhir menyebutkan 48 desa masuk zona merah. Desa itu akan menjadi fokus pengentasan kemiskinan, dengan berkolaborasi semua organisasi perangkat daerah (OPD), perguruan tinggi, dan CSR perusahaan, serta lembaga lain.

Adapun 48 desa miskin tersebut tersebar di 16 kecamatan. Hasil pemetaan berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial  (DTKS) 26 Oktober 2020,  rinciannya Kecamatan Banjarejo 3 desa; Blora 7 desa; Bogorejo 2 desa; Cepu 3 desa; Jati 2 desa; Jepon 3 desa; dan Jiken 3 desa.

 Kemudian kecamatan Kedungtuban 3 desa; Kradenan 2 desa; Kunduran 3 desa; Ngawen 5 desa; Randublatung 2 desa; Sambong 5 desa; Todanan 2 desa; dan Tunjungan 3 desa. Hanya Kecamatan Japah yang tidak terdapat desa miskin.

Atas kondisi itu, diluncurkanlah program satu perangkat daerah (OPD) satu desa dampingan, menuju desa unggul dan berdaya saing. Karena jumlah desa miskin masih banyak. Harapannya setelah adanya kolaborasi, desa miskin bisa naik kelas.

Baca Juga :  Anak SD Tewas Tenggelam di Embung

Bupati Blora, Arief Rohman  ingin program tersebut  berjalan maksimal dan dibuat timeline. Sehingga perubahannya bisa dilihat jelas antara sebelum dan sesudah pendampingan.

Sementara itu, Wakil Bupati Tri Yuli Setyowati yang juga Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Blora menyampaikan, program  tersebut merupakan salah satu perwujudan visi-misi. Yakni, ngopeni kadang kekurangan. Sehingga, minta seluruh OPD melakukan mapping, mendata permasalahan, sekaligus potensi di desa.

‘’Untuk nantinya baru ditentukan bersama bagaimana langkah intervensinya. Sehingga permasalahan yang ditemukan bisa diselesaikan, dan potensi yang ada dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat,’’ ujar Wabup Etik.

Tidak dipungkiri  bahwa program 1 OPD satu desa dampingan, akan mempercepat untuk program pengentasan desa miskin. Hanya, perlu kiranya untuk disamakan satu persepsi soal kriteria desa miskin  tersebut.  

Apakah dasar menentukan masyarakat miskin berpedoman dengan 14 kriteria masyarakat miskin menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Atau cukup dipersepsikan bahwa masyarakat bisa dikatakan miskin jika dalam Rumah Tangga tersebut setidaknya memenuhi 9 kriteria dari Badan Pusat Statistik ini.

Seperti luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 M2 / orang, jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan,  jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.

Termasuk  tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah tangga lain.  Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.  Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/ air hujan.

Juga bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak tanah. Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam dalam satu kali seminggu. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.

Kiranya kriteria ini perlu disamakan persepsinya, dengan tujuan akan semakin terstruktur untuk mencari solusi, menangani desa yang masuk kategori miskin menjadi desa tidak miskin. *)

Reporter : Muji
Editor : Daryanto

Tinggalkan Balasan

No More Posts Available.

No more pages to load.