GESEKU Untuk Wujudkan Blora Kabupaten Organik 

oleh -575 Dilihat
oleh
Foto : dok

Oleh : Daryanto

” GESEKU merupakan gerakan masyarakat untuk memanfaatkan kotoran dari ternak  yang dimiliki Blora. Dalam inovasi itu, tujuannya kotoran ternak dimanfaatkan agar mempunyai nilai tambah ekonomi (menjadikannya sebagai pupuk organik).  Sehingga mampu memberikan kesejahteraan keluarga petani. Terlebih dari itu,  cita-cita untuk mewujudkan Blora sebagai Kabupaten Organik, melalui inovasi GESEKU bukan tidak mungkin meski melalui proses akan tercapai. ”

CUKUP membanggakan, dengan dua inovasi andalan, yakni Gerakan Sejuta Kotak Umat  (GESEKU) dan Sistem Informasi Layanan Anak Tidak Sekolah (SILAT), Blora saat ini masuk 16 besar Kabupaten terinovatif se -Indonesia dalam penghargaan Innovative Government Award (IGA) 2023.

Dan bahkan tidak mungkin, kelak setelah Tim dari Depdagri melakukan validasi ke lapangan, Blora bisa masuk 10 besar, atau prestasinya  diatas itu.

GESEKU merupakan gerakan masyarakat untuk memanfaatkan kotoran dari ternak  yang dimiliki Blora. Dalam inovasi itu, tujuannya kotoran ternak dimanfaatkan agar mempunyai nilai tambah ekonomi (menjadikannya sebagai pupuk organik).  Sehingga mampu memberikan kesejahteraan keluarga petani.

Terlebih dari itu,  cita-cita untuk mewujudkan Blora sebagai Kabupaten Organik, melalui inovasi GESEKU bukan tidak mungkin meski melalui proses akan tercapai. Dengan catatan, niatan membuat inovasi itu bukan sekadar prestise, menjelang   penganugerahan  penghargaan Innovative Government Award (IGA) 2023.  Melainkan, GESEKU benar-benar diwujudkan.

Apalagi jumlah populasi sapi di Blora menempati peringkat kedua terbanyak di Indonesia setelah Kabupaten Sumenep, Madura. Tercatat populasi sapi di Blora mencapai 260 ribu ekor lebih. Ini modal dasar yang luar biasa.

Tanpa mengecilkan arti, Pemkab Blora telah  menjajaki kerjasama dengan Fakultas Pertanian UNS Solo dalam rangka mewujudkan Blora sebagai Kabupaten Organik.

Termasuk acungan jempol untuk Bupati Blora, H. Arief Rohman yang berkomitmen untuk mewujudkan Blora menjadi Kabupaten dengan pertanian organik nomor satu. Semua itu bertujuan  agar petani di Blora tidak bergantung atau bahkan lepas dari pupuk kimia.

Persoalannya, kalau perjanjian kerjasama itu hanya berhenti diatas kertas, tanpa ada tindak lanjut nyata, apalah artinya ? Jika hal itu yang terjadi tentu akan berbanding lurus bahwa komitmen untuk mewujudkan Blora menjadi Kabupaten dengan pertanian organik nomor satu hanya sekedar komitmen.

Kenapa tidak Bupati tidak segera membuat Rencana Strategis (Renstra) di Dinas Pangan, Pertanian, Peternakan Dan Perikanan (DP4). Dimana di Renstra itu  berisi tentang pengembangan Sistem Pertanian Organik di sejumlah desa yang ada di Blora.

Baca Juga :  Lamun Siro “Kethul”  Ojo Minteri

Di tahap awal, konstruksinya tidak harus semua desa, melainkan  ditentukan demplot, misal, minimal dua desa di masing-masing kecamatan yang ada. Dengan demikian ada 12 demplot di Kabupaten Blora.

Satu hal yang diperlukan, adalah pondasi untuk mewujudkan renstra pengembangan sistem pertanian organik itu, yakni  perlu penyusunan peraturan-peraturan perundangan guna mendukung dan menjamin pelaksanaan program sesuai target.

Toh induk dari regulasi untuk itu semua sudah jelas, diantaranya adalah Peraturan Menteri Pertanian Nomor 64 Tahun 2013 tentang Sistem Pertanian Organik dan diberlakukannya SNI 6729: 2013 yang telah direvisi menjadi SNI 6729: 2016 tentang Sistem Pertanian Organik, Keputusan BPOM dan Peraturan Daerah (Perda).

Program desa organik tersebut diwujudkan dengan membentuk kawasan dimana lokasi atau hamparan kebun-kebun atau areal persawahan yang tergabung dalam kelompok tani organik berada pada satu desa atau kecamatan.

Dalam prakteknya, Pemkab tidak hanya membantu petani dalam penyediaan fasilitas sarana dan prasarana, melainkan juga memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan.

Beberapa pelatihan yang dilakukan adalah pelatihan pembuatan pupuk organik,  pembuatan pestisida organik/metabolit sekunder, pembuatan Mikro Organisme Lokal (MOL) dan produk-produk yang dapat membantu petani sebagai upaya mendukung terciptanya kebun organik di masing-masing kebun petani.  Tidak hanya itu, petani juga dibantu dan dibimbing dalam hal pemasaran produk organik.

Menghadapi Kendala

Tidak mudah seperti membalikan tangan memang untuk mewujudkan Blora sebagai Kabupaten Organik. Dari beberapa literatur, berikut kendala-kendala yang harus dihadapi untuk mewujudkan komitmen Blora sebagai kabupaten organik.

Pertama, kendala sumber daya manusia (SDM). Hal yang paling sulit dilakukan adalah merubah pola pikir petani untuk menerima dan melaksanakan konsep pertanian organik.

Konsep serba instan dengan hasil yang maksimal, dengan pemanfaatan bahan-bahan kimia yang sudah melekat selama bertahun-tahun, sangat sulit untuk dirubah.

Mereka, para petani  sangat sulit menerima hal-hal baru, sehingga perkebunan mereka tidak berkembang. Pola pikir terhadap bantuan sarana dan prasarana yang diberikan pemerintah, juga setali tiga uang, sebagian petani masih menganggap bahwa bantuan tersebut hanya berlaku selama tahun berjalan, sehingga bantuan yang diberikan tidak dirawat dan tidak dimanfaatkan secara maksimal.

Kedua,  adalah kendala produksi. Petani sulit menerima konsep organik karena beranggapan jika mengikuti program organik produksi akan menurun. Memang benar, pada tahun pertama dan kedua produksi akan mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena tanah yang tadinya sudah jenuh akibat penggunaan pupuk kimia secara terus menerus, bila diolah dengan sistem organik, maka pemulihannya memerlukan waktu yang cukup lama.

Baca Juga :  51 Mahasiswa STAIM Blora Diminta Bantu Cek Kondisi Kemiskinan dan Edukasi Soal Stunting

Alhasil, banyak petani kembali menggunakan produk kimia seperti pupuk dan obat-obatan. Berbeda halnya bila petani konsisten melakukan pemupukan maka pada tahun ketiga produksi akan pulih kembali, bahkan meningkat jika dibandingkan dengan saat penggunaan pupuk kimia. Penggunaan pupuk organik secara konsisten dan terus menerus menyebabkan tanaman tidak mengalami trek.

Ketiga, kendala pemasaran dan harga. Pemasaran produk organik dengan harga yang sesuai dengan harapan petani belum menemukan titik temu. Ada eksportir yang bersedia membayar harga lebih mahal tetapi dengan kuantitas tertentu. Hal ini sulit dipenuhi petani karena panen mereka masih sangat sedikit.

Untuk pemasaran dalam negeri biasanya terkendala dengan harga. Para pembeli masih menyamakan harga produk organic dengan produk non organik, sementara petani berharap harga lebih tinggi karena menganggap produk organik memiliki banyak kelebihan. Harga produk organik dan non organik masih dihargai dengan harga yang sama, sementara proses yang dilakukan lebih rumit dalam menghasilkan produk organik.

Keempat,  kendala soliditas anggota kelompok tani. Kendala ini merupakan kendala yang paling penting. Apabila petani tidak solid dan tidak kompak, maka program dan rencana kerja yang telah disusun tidak akan terlaksana dengan baik. Seringkali petani mengalami perpecahan dalam menyikapi suatu kondisi. Misalnya adanya bantuan sarana dan prasarana dari pemerintah menimbulkan saling kecurigaan antara anggota kelompok dan biasanya berakhir dengan perpecahan.

Semua kendala yang ada itu merupakan tantangan besar bagi pemerintah untuk menjawab pertanyaan “Akankah pertanian organik berhasil?.  Harus dicari jalan keluar atau solusinya. Pembinaan dan pendampingan yang dilakukan pemerintah harus menciptakan suasana yang kondusif sehingga petani bisa fokus, responsif dan kolaboratif. ***

Tinggalkan Balasan

No More Posts Available.

No more pages to load.