Belajar Jadi Orang Sholih di Tahun Politik (Pilkada)

oleh -114 Dilihat
oleh

Oleh : Daryanto

MENJELANG tahun politik (Pilkada) seperti saat ini, hak semua orang memang di persoalan dukung mendukung atau jago menjago. Hanya kenapa tidak di persoalan dukung mendukung, jago menjago itu kita mencoba belajar menjadi sosok yang berpikir dewasa atau bahkan bijaksana.

Kenapa kita tidak menjadikan dasar dari pola pikir kita, bahwa pilkada yang sebentar lagi dihelat itu termasuk dari salah satu dari jutaan urusan dunia. Orang Jawa bilang ngono yo ngono, ning ojo ngono.

Mau mencalonkan diri, boleh. Ingin menjadi pasangan calon tertentu boleh. Hanya saja kenapa harus menjelek-jelekan pribadi orang atau kelompok lain. Ingat semua yang kita perbuat pasti kelak akan dipertanggungjawabkan. Kalau ada yang menyanggah, ini khan urusan politik menjadi kelaziman yang namanya politik itu menghalalkan segala cara.

Iya.. tidak terbantahkan memang jika ada yang menyanggah seperti itu. Hanya kemana kita setelah hidup di dunia ini ? Yakinlah karma itu pasti ada, dan yang bisa mengukur adalah diri kita masing-masing.

Pertanyaannya sekarang, kenapa kita tidak belajar menjadi orang sholih di tahun politik ini. Karena sejatinya, sudah tidak ada pilihan bagi kita untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita di hadapan sang kholik, kecuali menjadi orang sholih.  Meski untuk menjadi orang sholih itu, sangat sulit. Gampang diucap, tetapi sulit untuk dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari. Hanya apa salahnya kita belajar.    

Kita tidak mungkin bisa menyamai nabi, karena nabi terakhir adalah Muhammad, yang telah dipilih Allah untuk memperoleh bimbingan sekaligus ditugasi untuk menuntun manusia menuju kebenaran Ilahi.

Kita juga tidak bisa menyamai Waliyullah, yang dosa sekali tobatnya berbulan-bulan. Bukan sebaliknya yang sebagian dilakukan orang,  salahnya berbulan-bulan tapi tobatnya sekali.  Waliyullah itu tidak ngresula atau sambat. Mari kita intropeksi, bukankah kita setiap hari selalu sambat – persoalan kecil saja misalnya, listrik mati hanya beberapa jam saja,  kita sudah sambat, ‘’ya Allah sumuk e. “

Satu pertanyaan lagi, bisakah kita menjadi Suhadak ? Yakni, orang yang mengorbankan seneng hatinya demi agama Allah . Misalnya, sebagai orang muslim,  waktu Subuh – disaat kita enak tidur lantas bangun mengambil wudhu dan menjalankan dua rakaat.

Siang hari saat kita sibuk beraktifitas – mempunyai toko jualan sembako misalnya –  kita akan bergegas menutup toko manakala mendengar adzan dhuhur atau Ashar – dan pergi ke masjid terdekat untuk shalat berjamaah. 

Ada pengalaman saat berhaji – saya tengah belanja memilih barang di sebuah toko di Madinah – waktu itu tinggal bayar –  begitu mendengar adzan – pemilik toko langsung menutup toko dan mengusir saya untuk segera pergi ke Masjid.

Baca Juga :  Berikrar Ikut Sesarengan mBangun mBlora  Kenapa Tidak  ?

Bukankah di kehidupan kita sehari-hari – tidak jarang ada pemilik toko penjual sembako – meski tidak ada pembeli pun atau tengah sepi – tetap saja tidak mau menutup toko saat mendengar panggilan shalat.

Dari semua itu, pilihan kita terakhir dan yang paling memungkinkan adalah menjadi orang sholih.  Dimana untuk menjadi orang sholih itu minimal harus memenuhi tiga kriteria.

Pertama, suka berbagi kepada yang lain. Mari kita nggrayangi diri kita masing-masing,  apakah kita itu masuk golongan orang loman atau medit ?  Ada satu contoh pertanyaan, di bulan puasa kita mendapat pembagian takjil (kolak) dan ternyata yang satu penuh isinya, sementara yang satu lagi agak kurang penuh, kita memilih yang mana.

Kayaknya kita akan memilih takjil yang satu wadah isinya penuh – sementara kalau kita dikatain nggragas tentu juga tersinggung. Pernah kita membayangkan, saat pembagian itu, memilih yang satu wadah tidak penuh sementara yang satu wadah penuh kita berikan kepada orang lain ? 

Contoh lain, kita tengah makan ikan gurame bakar, sambal lalapan dan minumnya es minum soda gembira. Seger tentunya. Hanya, ditengah enak-enaknya kita makan, kemudian ujian datang – tiba-tiba datang seekor kucing – pertanyaannya – kita akan memberikan apa kepada  kucing itu ?  Sebagian daging kah ? Atau duri ? atau hanya akan memberi sebagian buntut yang kalau kita makan akan menusuk mulut kita ?   atau daging ? 

Pernah kita membayangkan, kucing itu suka ikan, namun mau  ambil sendiri di kolam  tidak bisa. Mau mencari di pasar juga ada yang punya  dan harus membeli dengan sejumlah uang. Lantas ada Gurame di atas meja makan ternyata juga ada yang punya, dan kalau kucing nekad mengambil pasti akan dilempar pakai sandal.

Melihat Hati

Kita mungkin sepakat, ukuran orang baik itu bukan dilihat tingginya kupluk (songkok), lebarnya sorban.  Melainkan melihat hati.  Pernah diantara kita melihat semut lewat di depan kita, lantas  kita bunuh semut itu ? Saat semut itu mati,  pernahkah kita  mikir,  istri semut atau anak-anaknya  mencari ? Dan pernahkah kita membayangkan betapa sedihnya istri dan anak semut itu ?

Untuk membantu  orang yang membutuhkan, bisa kita lakukan semampu kita. Kalau kita tidak punya uang, jabatan, ilmu – kenapa kita tidak memberi orang lain dengan cara lain dan semampu kita.

Misalnya, mendoakan orang yang kita temui di jalan yang tengah sakit, semoga orang itu diangkat penyakitnya oleh Allah dan kita kirimi sekali saja Fatihah.  Tidak malah sebaliknya, mendoakan orang yang sakit itu, matio ben ngurangi-ngurangi menungso ning ndonya iki. 

Baca Juga :  Lamun Siro “Kethul”  Ojo Minteri

Kriteria kedua untuk menjadi orang Sholih adalah jangan angkuh. Kita sering menjumpai orang kalau tidak dipuji marah-marah. Kalau tidak dipuji tidak mengaku teman.

Kita yang tengah mempunyai hajat  mantenan misalnya, masihkah kita membeda-membedakan antara yang miskin dan kaya. Misalnya, kalau tamu yang datang dari golongan biasa, suguhannya masakan yang ala kadarnya. Sementara kalau tamu yang datang dari golongan kaya, pejabat, akan kita tempatkan di ruangan yang ada labelnya VIP.

Ingat kalau sudah sombong, angkuh biasanya suka goroh. Goroh itu tidak saja kepada sesama manusia, melainkan kepada Allah saja berani bohong.  Contohnya, supaya ingin dicap khusuk – meski tidak bisa membaca Yasin tanpa melihat buku tuntunan, saat datang ke pengajian pura-pura hafal – dengan berpenampilan mulut kita komat kamit sehingga bisa dicap khusuk dan pintar ngaji.

Kalau kita tidak bisa ngaji – meski hanya Juz Amma saja tetap tidak bisa – dan bisanya hanya fatihah, Kulhu misalnya – bukankah ini sudah merupakan hal yang sangat baik. Yang penting kita tidak mencemooh orang yang tidak bisa ngaji, karena sejatinya  kekurangan orang pasti ada.

Sebentar lagi akan datang hari raya Idul Kurban, adakah diantara kita yang mau kurban – kita foto-foto dengan hewan yang akan kita kurbankan ? Bukankah ini pertanda kita tidak ikhlas ?  Kalau boleh saya mengatakan hal itu adalah merupakan pratik dari kesombongan.

Tidak mau membicarakan kejelekan orang lain adalah merupakan ciri ketiga orang Sholih. Ingat untuk menjelek-jelekan orang mestinya kita takut ternyata  kejelekan orang lain itu sudah diampuni Allah.

Saat dalam perjalanan, saya membaca sebuah tulisan di bak truk,  “Biarlah Raqib Atid yang menilai (mbiji) aku, Cangkemu Menengo “. Kasar memang kata-katanya, hanya sebetulnya itu merupakan syiar agama. Untuk itu, terpenting, kita jangan membicarakan keburukan orang lain. Bukahkan sebaik-baik orang pasti ada jeleknya, begitu sebaliknya, sejelek-jelek orang pasti masih ada baiknya. (Dinukil dari berbagai sumber)  ***

Tinggalkan Balasan

No More Posts Available.

No more pages to load.