Oleh : Daryanto
” SAATNYA kita jangan mau diadu domba oleh orang luar yang gemar hoax. Gemar fitnah, framing tanpa bukti, memunculkan narasi yang membuat orang risi. Karena sejatinya, semua hanya untuk adu domba warga Blora. ”
EEEHHHH …… Begitu celetuk seorang sohib ketika menyaksikan pertunjukan tayub, seorang penari tayub nan cantik berjoget dengan tembang parikannya, ” rokok klobot kopine kapal api, rasah dipikir abot wong mesti ASRI. “
”Kenapa Mas ? ” Tanyaku
”Ndak, itu lho, parikane Mbak Joged kok menohok sekali,” jawabnya singkat.
Dong dengan apa yang dimaksudkan, saya lantas menekankan, bahwa memang saatnya kita jangan mau diadu domba oleh orang luar yang gemar hoax. Gemar fitnah, framing tanpa bukti, memunculkan narasi yang membuat orang risi. Karena sejatinya, semua hanya untuk adu domba warga Blora.
Pertanyaannya, apakah itu yang namanya mau memajukan Blora ? Ingat, Blora adalah Kita .. gitu loh. Kita yang suka damai tanpa harus mencela.
Kepada Ardono, sohib akrab yang terpukau dengan parikan penari tayub, “rokok klobot kopine kapal api, rasah dipikir abot wong mesti ASRI”, saya sampaikan adanya pertunjukan Wayang Mbeling dengan lakon, “Narada Gugat”, dimana pesannya tidak kalah menohok.
Ceritanya, diawali dengan kegundahan Narada melihat semakin memanasnya H – 18 jelang Pilkada di Amarta. Dewa yang mempunyai watak bijaksana itu, atau sang pujangga atau patihnya para dewa di Kahyangan itu, turun gunung.
Semua itu dilakukan untuk memberi wejangan kepada seluruh masyarakat wayang di Amarta yang mempunyai potensi luar biasa itu.
Sasaran utama yang akan diwejang adalah para Punakawan. Perhitungannya, para punakawan itu dipandang yang paling luwes untuk meneruskan pesan wejangannya ke seantero warga di Amarta .
Adalah Bagong atau Bawor, sosok punakawan yang paling serius dan siap mewakafkan diri untuk mensosialisasikan wejangan Narada ke seluruh warga wayang di Amarta.
” Siap Sang Resi Narada. Hamba akan menjadi wayang pertama yang akan mensosialisasikan wejangan paduka ke seluruh wayang di Amarta. Hanya kiranya bolehkah saya harus memberi kritik, saran dan masukan dari materi wejangan yang akan sampeyan berikan,” papar Bagong, ketika dikumpulkan di sebuah aula tempat ibadah di Kerajaan Amarta, bersama seluruh anggota Punakawan .
” Dengan senang hati. Karena ketahuilah, meski saya sebagai dewa tetap terbuka untuk dikritik. Karena saya yakin hakikatnya seorang Dewa pun, mustahil sempurna. Demikian juga, tidak ada manusia baik dari golongan cendekiawan, rakyat biasa, bahkan seorang pemimpin, yang sempurna sehingga tidak boleh dikritik,” jawab Narada yang akrab dipanggil juga dengan Resi Kaneka Putra itu .
Begini, Narada mulai memberikan wejangannya, sementara para punakawan ( Semar, Petruk, Gareng dan Bagong ) tampak menyimak dengan begitu seksama.
Narada yang menjadi dewan pertimbangan para Dewa, utamanya Batara Guru saat mengambil kebijakan-kebijakan, menegaskan, berbagai faktor yang harus dipertimbangkan oleh para wayang di Amarta untuk memilih pemimpin, diantaranya integritas, kompetensi, pengalaman, dan visi misi maupun programnya.
”Terutama dan yang paling penting, Gong. Sampaikan ke seluruh wayang se jagad Amarta, bahwa untuk memilih pemimpin harus utamakan putra/putri asli daerah,” tegas Narada.
” Siap Komandan Narada. Saya akan upayakan paling tidak 80 persen warga Amarta akan memilih pemimpin yang asli daerah,” jawab Bagong.
”Tapi ingat harus kamu jelaskan sejelas-jelasnya, bahwa ada perbedaan antaranya Orang Daerah dengan Putra Asli Daerah !”
” Siap delapan enam, Komandan Narada.”
Ikatan Emosional
Mengenai kenapa harus mengutamakan putra daerah, demikian Narada, pemimpin yang putra/putri asli cenderung memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang budaya, adat istiadat, dan kehidupan lokal di Amarta. Ketimbang yang tidak asli daerah, pemimpin putra daerah praktis memiliki hubungan yang kuat dengan komunitas dan memahami isu-isu yang dihadapi warga Amarta.
Dan yang terpenting,, Narada melanjutkan wejangannya, pemimpin yang putra/putri asli Amarta, dipastikan memiliki ikatan emosional yang lebih besar dengan daerah tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan. Secara logika, ikatan emosional yang besar itu akan memotivasi Sang Pemimpin itu untuk bekerja keras demi kemajuan Amarta.
Dia memiliki komitmen yang tinggi untuk meningkatkan kualitas hidup warga dan memajukan pembangunan daerah di Amarta secara keseluruhan.
Pemimpin yang putra/putri asli daerah, memiliki jaringan yang luas di daerah mereka. Mereka dapat memiliki hubungan yang kuat dengan tokoh-tokoh lokal, komunitas, dan pemangku kepentingan lainnya. Hal ini dapat mempermudah proses kerja sama, negosiasi, dan kolaborasi dalam upaya memajukan daerah.
” Menurut saya, masih ada satu kelebihan atau nilai plus calon pemimpin di Amarta yang asli putra daerah, Komandan Narada,” sela Bagong.
” Apa itu ?”
” Calon pemimpin di Amarta ke depan, harus mempunyai jaringan yang luas di pemerintah pusat, sehingga sangat mudah melakukan lobi-lobi menurunkan anggaran untuk membangun Amarta. ”
” Itu salah satu nilai plus calon pemimpinmu yang asli putra daerah, Gong. Selain banyak kelebihan lain yang dipunyai.”
Terakhir, lanjut Narada, pemimpin atau kepala daerah putra/putri asli Amarta, cenderung memiliki pemahaman yang lebih baik tentang kebutuhan dan masalah yang dihadapi oleh warga Amarta. Dia dapat lebih peka terhadap isu-isu lokal, seperti infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan masyarakat lainnya. Dengan pemahaman tersebut, dia dapat merancang kebijakan dan program yang lebih sesuai dengan kebutuhan daerah.
” Siap Komandan Narada. Harga mati, sosok pemimpin Amarta ke depan tetap harus putra-putri asli Amarta. Segera laksanakan perintah, saya akan mensosialisasikan persoalan ini ke seluruh wayang se jagad Amarta. Ijin, usul, mestinya disampaikan juga tentang apa kejelekan jika kita memilih pemimpin yang bukan putra/putri asli Amarta ? ”
”Baiklah, terimakasih atas masukannya. Ini saran yang bagus, supaya seluruh wayang di Amarta paham betul dengan dampak buruk kalau memilih pemimpin yang tidak putra asli Amarta. ”
Begini, Narada setengah unjal ambegan. Dikemukakan, Kepala Daerah atau pemimpin yang bukan putra/putri asli Amarta, mungkin membutuhkan waktu untuk memahami budaya, tradisi, dan konteks lokal di Amarta, yang memang berbeda dengan latar belakang pemimpin itu.
” Kurangnya pemahaman ini dapat mengakibatkan kesalahan persepsi atau keputusan yang kurang tepat dalam kebijakan dan program yang diimplementasikan saat memimpin Amarta. ”
Selain itu, Kepala Daerah yang bukan putra/putri asli Amarta, dapat menghadapi perlawanan atau ketidakpercayaan dari sebagian warga wayang di Amarta. Warga Wayang di Amarta akan menganggap bahwa kepala daerah yang bukan putra/putri asli tidak memiliki loyalitas atau komitmen yang sama terhadap daerah tersebut.
”Termasuk, Kepala daerah atau pemimpin yang bukan putra/putri asli Amarta, akan membutuhkan waktu untuk memahami isu-isu lokal yang spesifik dan kompleks yang dihadapi oleh seluruh warga Amarta. Mereka perlu belajar tentang masalah sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang unik untuk di Amarta. Kurangnya pemahaman ini dapat menghambat kemampuan kepala daerah untuk mengambil keputusan yang efektif dan solutif,” tutur Narada memungkasi wejangannya. ***
Catatan : Dari berbagai sumber