Oleh : Dalhar Muhammadun
” DI manuskrip-manuskrip Kedungnongo, bukan hanya ternilai sebagai barang antik, tetapi merupakan dokumen spesial — karena tidak ditemukan di tempat lain — dan memenuhi syarat sebagai sumber primer untuk melengkapi historiografi dari perjalanan panjang sejarah Nahdlatul Ulama. ”
INI bukti bahwa Nahdlatul Ulama sebagai organisasi para ulama sejatinya memiliki tradisi administrasi dan literasi yang sangat baik.
Hal itu bisa terbaca dengan temuan beberapa manuskrip yang merupakan tinggalan Kyai Abdullah Faqih, Desa Kedungnongo, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora.
Yakni berupa : 1. Surat Undangan perseorangan sebagai peserta Muktamar IV NU, 2. Lembaran Pemberitahuan Muktamar IV NU, 3. Materi Muktamar IV dan V, 4. Empat buah kitab tulisan tangan yang merupakan kitab muktabar ala pesantren.
Manuskrip-manuskrip tersebut bukan hanya ternilai sebagai barang antik, tetapi merupakan dokumen spesial — karena tidak ditemukan di tempat lain — dan memenuhi syarat sebagai sumber primer untuk melengkapi historiografi dari perjalanan panjang sejarah Nahdlatul Ulama.
Undangan khusus sebagai peserta muktamar kepada Kyai Abdullah, menjadi bukti sahih akan proses perjalanan Muktamar NU itu sendiri. Sebagaimana diketahui, pada mulanya peserta muktamar bersifat perseorangan. Bukan langsung utusan PCNU sebagaimana dikenal dewasa ini. Baru di Muktamar III NU (1928), mulai ada delegasi mewakili PCNU.
Setidaknya, peserta jalur undangan ini, terus ditemukan di muktamar-muktamar berikutnya. Hal ini terkonfirmasi berdasar koleksi Komunitas Pegon yang juga memiliki undangan serupa. Yakni milik Kyai Salim dari Penataban, Banyuwangi
Lembaran Pemberitahuan Muktamar IV NU, menyediakan informasi yang cukup lengkap ihwal rencana dilaksanakannya muktamar. Ini sangat memudahkan kepada calon peserta muktamar sehingga bisa mempersiapkan segala sesuatunya secara matang. Dalam konteks kekinian, Pemberitahuan Muktamar ini semacam ToR (term of reference) dari sebuah rencana kegiatan.
Materi Muktamar IV, merupakan rangkuman masalah-masalah fiqih yang sedang mengemuka saat itu dan perlu mendapatkan jawaban dari para ulama melalui forum Muktamar NU.
Selain itu juga terdapat beberapa usulan dari anggota dan pengurus cabang Nahdlatul Ulama, tepatnya pada halaman-halaman akhir materi Muktamar tersebut, yang menyangkut berbagai macam permohonan. Seperti pengadaan kursus untuk para penghulu, diberikannya anggaran untuk membiayai calon penceramah muda, serta usulan agar Nahdlatul Ulama mendirikan toko kitab sesuai mazhab untuk keperluan umat.
Koleksi Kitab
Bagian yang tak kalah menarik dari mozaik Kedungnongo, adalah kumpulan koleksi kitab yang ditengarai milik Kyai Abdullah selama nyantri di pesantren.. Sampai saat ini, terdapat empat manuskrip yang berhasil dikumpulkan oleh pihak keluarga dan sedang dalam tahapan identifikasi.
Keempat manuskrip itu merupakan salinan dari kitab-kitab karya ulama mazhab Syafi’i yang dirangkum menjadi beberapa bagian. Semuanya ditulis menggunakan bahasa Arab dan Jawa Pegon.
Seperti di salah satu manuskrip yang berisi salinan kitab Matan Jurumiyyah misalnya. Pada halaman paling awal, ditemukan tulisan Jawa Pegon yang bertuliskan sang empunya kitab beserta alamat asal sang pemilik. Tulisan serupa juga ditemukan di bagian manuskrip paling terakhir.
Dari empat manuskrip yang berhasil terkumpul, subjek keilmuan yang dikaji meliputi beberapa fan seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Tasawuf, Akidah, Tauhid dan Fikih.
Dengan temuan manuskrip Kedungnongo, sekalipun dalam catatan pendek ini hanya mampu memotret kulitnya semata, menyediakan ruang yang sangat menarik untuk melakukan kerja-kerja eksplorasi ilmiah.
Kecermatan dan imajinasi yang luas akan menangkap betapa urgennya sumbangsih manuskrip Kedungnongo untuk membuka sisi-sisi yang belum terbuka terkait historiografi Nahdlatul Ulama, terkhusus seputar Muktamar IV NU Semarang tahun 1929.
Kertas-kertas tua dan lapuk tersebut, sudah seharusnya tak hanya ditempatkan di etalase barang antik, namun harus mampu menjadi mesin penembus waktu untuk membaca masa lalu. ***
*) Penulis adalah Ketua Lesbumi dan Dewan Kebudayaan Blora