Kapan Mimpi Blora Menjadi Kabupaten Organik Menjadi Kenyataan ?

oleh
oleh
Foto : dok

Oleh : Urip Daryanto

” PERLU mencari strategi memang untuk “menggiring” semua peternak sapi di Blora mau untuk sesarengan menciptakan pupuk organik. Salah satunya dengan melibatkan instansi samping, seperti Babinsa dan Babinkamtibmas. |Disamping terus mendorong para penyuluh di lapangan untuk “melecut” para peternak sapi. Targetnya, mimpi Blora untuk menajdi Kabupaten Organik akan menjadi nyata. ”

BLORA, topdetiknews.com – Masih lekat dengan statemen Bupati Blora, Dr. H. Arief Rohman, November 2023 lalu, bahwa pihaknya optimis jika mimpi Blora menjadi Kabupaten Organik akan menjadi kenyataan.

Hal itu disampaikan usai panen raya padi organik di lahan milik Klomtan Sido Makmur, Desa Gondel, Kecamatan Kedungtuban, tepatnya di hari Jumat (10/11/23), sore. ‘’Kami akan mendorong terus petani di Blora untuk bertani organik,’’ tandasnya waktu itu.

Pertanyaannya sekarang, kapan mimpi itu menjadi kenyataan ? Mengingat potensi sapi di Blora melimpah (terbesar di Jawa Tengah ). Sementara melalui Dinas Pangan Pertanian Peternakan dan Perikanan Kabupaten Blora (DP4) setempat, Blora juga sudah mempunyai inovasi Gerakan Sejuta Kotak Umat (GESEKU).

GESEKU merupakan gerakan masyarakat untuk memanfaatkan kotoran dari ternak yang dimiliki Blora. Dalam inovasi itu, kotoran ternak dimanfaatkan agar mempunyai nilai tambah ekonomi (menjadikannya sebagai pupuk organik). Sehingga mampu memberikan kesejahteraan keluarga petani.

Dari berbagai penelusuran, “proyek” GESEKU sudah berjalan memang. Hanya masih sedikit petani peternak sapi di Blora yang menjalankannya.

Data yang ada di DP4 Blora, dari 165.000 petani peternak sapi di Blora, ternyata yang sudah mempraktekkan Geseku baru 2.200 petani peternak, atau baru sekitar 1,5 persennya.

Perlu mencari strategi memang untuk “menggiring” semua peternak sapi di Blora mau untuk sesarengan menciptakan pupuk organik tersebut. Salah satunya dengan melibatkan instansi samping, seperti Babinsa dan Babinkamtibmas. |Disamping terus mendorong para penyuluh di lapangan untuk “melecut” para peternak sapi.

Sepakat dengan rencana dari Dinas Pertanian yang akan melombakan terkait target pembuatan pupuk organik dari kotoran sapi itu. Karena ini sejatinya untuk mengejar target menjadi Blora sebagai Kabupaten Organik.

Potensi Besar

Tak terbantahkan bahwa sebenarnya potensi untuk memproduksi pupuk organik di Blora sangat besar.

Seperti disampaikan Kepala Dinas Pangan, Pertanian, Peternakan, dan Perikanan (DP4) Blora Ngaliman melalui Sekretaris DP4 Lilik Setyawan, potensi kotoran sapi di Blora sangat besar. Sehingga program pembuatan pupuk organik dari kotoran sapi berjalan maksimal, produksi pupuk organik di Blora sangat besar.

Dikemukakan, dengan populasi ternak sapi yang ada, produksi kotoran sapi di Blora dalam sehari bisa mencapai 2.000 Ton. Bisa dibayangkan, kotoran sebanyak ini jika dimuat truk sampai berapa ratus truk.

Hitungan-hitungan angka 2.000 Ton itu, jumlah sapi di Blora sebanyak 174.000 – diprediksi kotoran dari seekor sapi setiap harinya mencapai antara 10 Kg – 15 Kg – sehingga dari jumlah sapi yang ada dikalikan volume kotoran yang dihasilkan seekor sapi dalam seharinya.

Sementara itu, untuk menjadikan 2.000 Ton kotoran sapi itu menjadi pupuk organik caranya sangat simple, yakni cukup dengan menuangkan probiotik ke kotoran sapi yang sudah ditempatkan dalam kotakan yang dibuat oleh masing-masing petani.

Baca Juga :  Astaghfirullah, Pelaku Yang Hamili Perempuan Disabilitas Ternyata Sosok Ini

” Butuh kesadaran para pemilik sapi, jika perlu didorong, agar mau membuat kotakan untuk menempatkan kotoran sapi. Dan ini biayanya juga tidak mahal. Selanjutnya, kotoran sapi yang ada di kotakan itu tinggal dituangkan probiotik untuk bahan fermentasi,” jelas Lilik.

Tanpa mengecilkan arti, Pemkab Blora telah menjajaki kerjasama dengan Fakultas Pertanian UNS Solo dalam rangka mewujudkan Blora sebagai Kabupaten Organik. Karena sejatinya, Semua itu bertujuan agar petani di Blora tidak bergantung atau bahkan lepas dari pupuk kimia.

Persoalannya, kalau perjanjian kerjasama itu hanya berhenti diatas kertas, tanpa ada tindak lanjut nyata, apalah artinya ? Jika hal itu yang terjadi tentu akan berbanding lurus bahwa komitmen untuk mewujudkan Blora menjadi Kabupaten dengan pertanian organik nomor satu hanya sekedar komitmen.

Untuk mewujudkannya, di tahap awal, konstruksinya tidak harus semua desa, melainkan ditentukan demplot. Misal, minimal dua desa di masing-masing kecamatan yang ada. Dengan demikian ada 12 demplot di Kabupaten Blora.

Satu hal yang diperlukan, adalah pondasi untuk mewujudkan renstra pengembangan sistem pertanian organik itu, yakni perlu penyusunan peraturan-peraturan perundangan guna mendukung dan menjamin pelaksanaan program sesuai target.

Toh induk dari regulasi untuk itu semua sudah jelas, diantaranya adalah Peraturan Menteri Pertanian Nomor 64 Tahun 2013 tentang Sistem Pertanian Organik dan diberlakukannya SNI 6729: 2013 yang telah direvisi menjadi SNI 6729: 2016 tentang Sistem Pertanian Organik, Keputusan BPOM dan Peraturan Daerah (Perda).

Program desa organik tersebut diwujudkan dengan membentuk kawasan dimana lokasi atau hamparan kebun-kebun atau areal persawahan yang tergabung dalam kelompok tani organik berada pada satu desa atau kecamatan.

Dalam prakteknya, Pemkab tidak hanya membantu petani dalam penyediaan fasilitas sarana dan prasarana, melainkan juga memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan.

Beberapa pelatihan yang dilakukan adalah pelatihan pembuatan pupuk organik, pembuatan pestisida organik/metabolit sekunder, pembuatan Mikro Organisme Lokal (MOL) dan produk-produk yang dapat membantu petani sebagai upaya mendukung terciptanya kebun organik di masing-masing kebun petani. Tidak hanya itu, petani juga dibantu dan dibimbing dalam hal pemasaran produk organik.

Mapping Kendala

Tidak mudah seperti membalikan tangan memang untuk mewujudkan Blora sebagai Kabupaten Organik. Dan seyogyanya Pemkan melakukan mapping kendala itu.

Dari beberapa literatur, berikut kendala-kendala yang harus dihadapi untuk mewujudkan komitmen Blora sebagai kabupaten organik.

Pertama, kendala sumber daya manusia (SDM). Hal yang paling sulit dilakukan adalah merubah pola pikir petani untuk menerima dan melaksanakan konsep pertanian organik.

Konsep serba instan dengan hasil yang maksimal, dengan pemanfaatan bahan-bahan kimia yang sudah melekat selama bertahun-tahun, sangat sulit untuk dirubah.

Mereka, para petani sangat sulit menerima hal-hal baru, sehingga perkebunan atau pertanian mereka tidak berkembang. Pola pikir terhadap bantuan sarana dan prasarana yang diberikan pemerintah, juga setali tiga uang, sebagian petani masih menganggap bahwa bantuan tersebut hanya berlaku selama tahun berjalan, sehingga bantuan yang diberikan tidak dirawat dan tidak dimanfaatkan secara maksimal.

Baca Juga :  Terus Bertambah, Rumah Warga di Bantaran Sungai Yang Terancam Longsor

Kedua, adalah kendala produksi. Petani sulit menerima konsep organik karena beranggapan jika mengikuti program organik produksi akan menurun. Memang benar, pada tahun pertama dan kedua produksi akan mengalami penurunan.

Hal ini disebabkan karena tanah yang tadinya sudah jenuh akibat penggunaan pupuk kimia secara terus menerus, bila diolah dengan sistem organik, maka pemulihannya memerlukan waktu yang cukup lama.

Alhasil, banyak petani kembali menggunakan produk kimia seperti pupuk dan obat-obatan. Berbeda halnya bila petani konsisten melakukan pemupukan maka pada tahun ketiga produksi akan pulih kembali, bahkan meningkat jika dibandingkan dengan saat penggunaan pupuk kimia. Penggunaan pupuk organik secara konsisten dan terus menerus menyebabkan tanaman tidak mengalami trek.

Ketiga, kendala pemasaran dan harga. Pemasaran produk organik dengan harga yang sesuai dengan harapan petani belum menemukan titik temu. Ada eksportir yang bersedia membayar harga lebih mahal tetapi dengan kuantitas tertentu. Hal ini sulit dipenuhi petani karena panen mereka masih sangat sedikit.

Untuk pemasaran dalam negeri biasanya terkendala dengan harga. Para pembeli masih menyamakan harga produk organic dengan produk non organik, sementara petani berharap harga lebih tinggi karena menganggap produk organik memiliki banyak kelebihan.

Harga produk organik dan non organik masih dihargai dengan harga yang sama, sementara proses yang dilakukan lebih rumit dalam menghasilkan produk organik.

Keempat, kendala soliditas anggota kelompok tani. Kendala ini merupakan kendala yang paling penting. Apabila petani tidak solid dan tidak kompak, maka program dan rencana kerja yang telah disusun tidak akan terlaksana dengan baik.

Seringkali petani mengalami perpecahan dalam menyikapi suatu kondisi. Misalnya adanya bantuan sarana dan prasarana dari pemerintah menimbulkan saling kecurigaan antara anggota kelompok dan biasanya berakhir dengan perpecahan.

Semua kendala yang ada itu merupakan tantangan besar bagi pemerintah untuk menjawab pertanyaan “Akankah pertanian organik berhasil?. Harus dicari jalan keluar atau solusinya. Pembinaan dan pendampingan yang dilakukan pemerintah harus menciptakan suasana yang kondusif sehingga petani bisa fokus, responsif dan kolaboratif. ***

Tinggalkan Balasan

No More Posts Available.

No more pages to load.