Lamun Sira Sekti Ojo Mateni …

oleh
oleh

Oleh : Daryanto

” SABAR itu juga ada batasnya. Manakala kita sudah ngalah, ngalih dan ngomong, namun tetap saja difitnah dan dijelek-jelekkan, tidak ada salahnya jika kita ngamuk di kemudian. Kalau ada yang bertanya apa bentuk ngamuk itu, tentu saja tidak bisa dijelaskan. ”

SEPAKAT dengan falsafah Jawa ini, “lamun sira sekti, ojo mateni”. Falsafah yang kurang lebih bisa diartikan bahwa kalau kita sekti (berkuasa), tidak lantas untuk semena-mena kepada siapa saja. Baik kepada musuh, bekas musuh, anak buah yang berkhianat atau kepada siapa saja yang pernah menjelek-jelekan kita.

Zaman sudah semakin maju, tapi kenapa tidak kita tetap mengingat pesan-pesan bijak dan agung dari para leluhur itu. Situasi politik sudah berlalu, sehingga bagi yang sekti (berkuasa) hendaknya tetap berikrar tidak akan bertindak semena-mena. Kepada siapapun.

Sebuah pesan kemanusiaan yang patut kita renungkan memang. Karena sejatinya, bagaimanapun juga kekuasaan tidak boleh dipakai untuk menindas.Tulisan tentang falsafah Jawa ini oleh sebagian orang bisa saja dianggap pesan yang sudah tidak populer memang. Hanya karena memang pesan ini tidak ditujukan kepada siapapun, dan tidak untuk alat untuk mendikte siapapun.

Baca Juga :  Sengkuni Sang Pemalak Cuan Bermetode Canggih

Sakit dan jengkel memang, manakala kita dijelek-jelekin, difitnah, dan dicari celah kesalahan. Hanya kenapa tidak kita meneladani falsafah Jawa yang bagus ini, untuk dipakai sebagai panduan bersikap. Yakni, Ngalah – Ngalih – Ngomong – dan Ngamuk (sebagai alternatif terakhir).

Sejatinya ngalah itu luhur wekasane. Toh banyak orang (kalau kita tidak boleh mengklaim banyak orang), paham tentang siapa kita. Bukankah direndahkan tidak lantas membuat kita akan serendah sampah. Sebaliknya, dengan dipuji juga tidak lantas membuat kita terbang ke langit.

Yang namanya berlian, meski dipendam didalam lumpur, sampai kapanpun tetap berlian. Sebaliknya, yang namanya besi karat, meski disepuh dengan emas 24 karat, tidak lama kemudian orang akan tahu bahwa sejatinya itu hanyalah besi yang sudah berkarat.

Kalau kita sudah ngalah tetap saja difitnah dan dijelek-jelekan, lebih baik kita ngalih (pindah). Ngalih, berpindah ruang. Ini akan mengurangi sakit hati dan tidak memunculkan pikiran untuk dendam.

Hanya, kalau sudah ngalah dan ngalih, kita tetap saja dijelek-jelekan dan difitnah dan dikhianati, sudah saatnya kita harus ngomong. Dan kalau perlu ngomong itu dimaknai sebagai sikap untuk memberi pelajaran.

Baca Juga :  Antara Capaian Kinerja dan PR Yang Harus Diselesaikan Blora di Usia 274 Tahun

Persoalan akan menjadi lain, jika kita sudah ngalah, ngalih dan bahkan ngomong, namun tetap saja difitnah, dijelek-jelekkan dan dikhianati, saatnya kita niteni untuk bahan “ngamuk” di kemudian. Ngamuk dimaksud bukan berarti dalam ranah dendam.

Sabar itu juga ada batasnya. Manakala kita sudah ngalah, ngalih dan ngomong, namun tetap saja difitnah dan dijelek-jelekkan, tidak ada salahnya jika kita ngamuk di kemudian. Kalau ada yang bertanya apa bentuk ngamuk itu, tentu saja tidak bisa dijelaskan. ***

Tinggalkan Balasan

No More Posts Available.

No more pages to load.